Akhir-akhir
ini, kalau saya perhatikan, pakaian bercorak batik sedang populer di
kalangan wanita, terutama remaja untuk pakaian sehari-hari. Sebelumnya,
pakaian batik lebih sering digunakan hanya untuk acara-acara resmi.
Munculnya trend seperti ini menimbulkan 2 pertanyaan dalam benak saya;
apakah ini bentuk sikap kecintaan mereka terhadap hasil karya
tradisional Indonesia atau justru ini bentuk reaksi kemarahan mereka
karena ada negara tetangga yang mengklaim batik sebagai “milik” mereka?
Saya
baru menyadari betapa maraknya pakaian batik beberapa minggu yang lalu,
ketika ibu saya, yang pedagang batik, menawarkan pakaian batik
dagangannya untuk saya pakai sehari-hari. Tidak biasanya, saya tidak
menolak. Saya malah dengan senang hati menerimanya. Entah karena memang
modelnya yang bagus sehingga saya ingin memakainya, atau entah karena
tanpa saya sadari pakaian batik sudah mulai marak di kalangan remaja
putri sehingga saya ingin mengikuti trend. Namun, apapun alasannya, saya
mulai memakai pakaian batik sebagai pakaian sehari-hari di saat batik
mulai manjadi trend.
Saya
pikir, mungkin alasan orang-orang mulai gemar memakai batik karena
mereka memang menyukainya sebagai karya bangsa. Terlebih lagi memang
akhir-akhir ini model-model yang ditawarkan bisa dibilang up to date.
Buat saya itu bagus, karena dengan begitu batik sebagai karya
tradisional dari daerah-daerah di Indonesia dapat menyesuaikan diri
dengan dunia masa kini sehingga mampu bersaing dengan maraknya busana
barat yang juga populer. Tetapi saya jadi heran, mengapa baru sekarang
batik menarik perhatian berbagai kalangan lewat desain-desainnya yang
modern?
Ternyata
menurut paman saya yang merupakan pengusaha batik, yang juga baru
akhir-akhir ini memproduksi batik berdesain up to date, alasan para
produsen batik melakukan ini semua adalah atas dasar kejengkelan mereka
terhadap Negara tetangga yang tiba-tiba mengklaim batik sebagai “milik”
mereka. Mereka sebagai agen-agen penerus budaya batik Indonesia merasa
sangat tersinggung dan tidak dihargai. Susah-susah mempertahankan
keberadaan batik di Indonesia, tiba-tiba batik diaku Negara tetangga.
Maka dari itu, untuk membuktikan bahwa batik “milik” Indonesia, mereka
pun membuat pakaian batik yang berdesain modern untuk dipakai
sehari-hari, sehingga masyarakat dapat sering memakainya.
DI
satu sisi, hal itu terdengar menyenangkan, karena menunjukkan betapa
para produsen itu berusaha kuat untuk membuktikan batik adalah milik
Indonesia. Namun ada nada ironi juga di sana, karena menunjukkan bahwa
kita baru bisa mempertahankan batik sebagai milik bangsa setelah ada
yang menyerang dengan memperebutkan pengakuan kepemilikan batik. Kalau
memang batik milik bangsa Indonesia, seharusnya sudah dari dulu batik
digunakan sehari-hari. Tidak perlu hak paten, karena tradisi tidak ada
yang asli. Namun, jika ingin memilikinya, seharusnya kita mencintai dan
menjaganya sejak dulu. Kalau saja batik sudah marak digunakan sejak
dulu, mungkin tidak akan ada yang berani mengakui kepemilikannya di
Negara lain.
Jika
ternyata maraknya pakaian batik sehari-hari adalah reaksi emosi sesaat
terhadap Negara tetangga, mungkin saja ini akan menjadi trend sesaat.
Ketika situasi meredam, mungkin saja orang-orang akan mulai
meninggalkannya dan terbuai dengan keadaan aman bahwa kita sudah
berhasil membuktikan bahwa batik adalah “milik” bangsa Indonesia. Hal
ini tentu saja akan makin menimbulkan ironi, karena menunjukkan
kecintaan yang begitu dangkal terhadap karya bangsa. Kecintaan hanya
muncul sebagai reaksi emosional atas serangan bangsa lain.
Saya
hanya bisa berharap pembuktian kecintaan masyarakat pakaian batik saat
ini tidak akan mereda begitu saja ketika serangan dari Negara tetangga
ikut mereda. Semoga trend batik ini tidak seperti trend mode yang tiap
setahun sekali ditinggalkan dan dilupakan begitu saja, kemudian diganti
dengn trend baru lagi.(nadsky.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar